Sumpah, saya merinding membaca surat ini yang dengan begitu gamblangnya mengungkapkan perasaan dan juga bentuk protes seorang siswi yang mungkin juga mewakili ungkapan hati dari seluruh pelajar di Indonesia yang baru saja menempuh UNAS di tahun 2014 ini. Demikian isi surat dari siswi tersebut....
Dari Nurmillaty Abadiah teruntuk Bapak Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA
Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya
banyak pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang
ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak
tidak perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan
menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda
tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin
penting... Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang
tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket. Bapak Menteri Pendidikan yang
terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru
Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan
yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana
caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf
kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel
pada tumbuhan dan hewan'? Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil.
Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih
susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes,
kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak
akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau
tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang
tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?'
melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'. Bapak Menteri
Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika
siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi
coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat
sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk menetapkan
sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS
dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketidakmerataan bobot
soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya,
menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak
sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di
naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh,
jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami
dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan
setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung
oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking
bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan? Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar
tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat,
menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap
tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini
saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh
soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan
dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan
tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa.
Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan
pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf
kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya
ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat
mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat
sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya
pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya
tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu,
hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan
dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan
kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan
heran... Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya
saja belum tentu bisa menjawabnya? Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS
itu? Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi?
Mahasiswa-mahasiswa semester enam? Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan
menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh
Indonesia? Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini
masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard
Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah
sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi? Etiskah memberi kami soal
berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh
Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu? Pada bagian ini, Bapak mungkin
akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan'.
Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah saya katakan.
Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak percaya kenapa ada
yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah
mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit teman-teman saya
yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah
Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan
Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya, hanya ada
dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia
menempuh jalan pintas... Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu
pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya
pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki. Mengapa saya tidak paham joki itu bisa
terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal
UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi
ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika
bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa
sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullahhaladzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula,
yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya
lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya
satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini,
berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa
banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan
mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal. Iya
langsung bersih cling begitu, toh? Nyatanya tidak. Sekalipun dengan 20 paket
soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya.
Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya,
mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di
tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa?
Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus
sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah.
Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat
begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa
menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika
pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak
Menteri Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya
juga bisa membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang
didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya
mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja,
air hujan tidak akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas
sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas
kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya. Pernah terpikirkah oleh Bapak,
bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk
berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman
saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan
diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk.
Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka
luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu,
mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka
pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa
dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena
dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan
dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata
mereka... berharap Tuhan membantu. Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan
teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar
seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami,
Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami,
semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati
ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya,
dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan
dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para
penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak.
Saya tantang Bapak
untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin
selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab
benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau
Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa?
Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di
Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris
sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah
sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami? Tidak. Tentu saja Bapak tidak
sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan sampai
terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja belum
tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya,
Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai
sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di
atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan merasa perlu
untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan tidak akan
merasa perlu untuk mengadakan UNAS. Anda akan
mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting
itu kejujuran. Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan
kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN
Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa
jaminan bahwa siswa yang menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas
bobot nilai sekolah (yang selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan)
dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS
itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami,
para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri
siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh
soal yang berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini
sebelumnya? Bahwa soal yang di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak
sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu
dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya
bisa membuat kami mengalami mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak
pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak
berperikesiswaan itu dalam UNAS, yang notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak
lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin
merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami
adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering
bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah,
ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan
yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru
mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum
pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas
letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua
itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah
pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi
fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya
mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin
kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak
didiknya tidak dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa
tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang salah, Pak. Ada lubang yang menganga
sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri
ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah yang salah, karena telah membiarkan
kami untuk menyeberang di jalur yang tak benar. Barangkali kami yang salah,
karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali
joki-joki itu yang salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu
untuk mendapat uang. Tapi tidak salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah
tim penyusun UNAS? Tidak salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan
terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang
berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?
Mungkin Bapak tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita
lihat saja hasilnya nanti." Kemudian sebulan lagi ketika hasil yang keluar
membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak
akan melupakan semua protes yang saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini
semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar
ucapan selamat kepada mereka yang lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak
sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang saya yakin sudah berkali-kali
mendengar pepatah 'don't judge a book by its cover', akan lupa untuk melihat ke
balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yang Bapak lihat
itu adalah hasil kerja para 'ghost writer UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya
kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yang mengerjakan dengan jujur?
Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dengan UNAS
berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang
sudah siap, bukan kami. Mengerikan bukan, Pak, efek dari tidak terusut
tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma
menjadi kebenaran semu? Bapak, tiga hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil
pahit. Pil pahit karena ketika kami berusaha begitu keras, beberapa teman kami
dengan nyamannya tertidur pulas karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan.
Pil pahit karena ketika kami masih harus berjuang menjawab beberapa soal di
waktu yang semakin sempit, beberapa teman kami membuat keributan dengan santai,
sedangkan para pengawas terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian
antar sekolah. Pil pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami
terima nanti, apakah kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...
Berhentilah bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang
jujur di generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya.
Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan yang
mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik mayoritas.
Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah, untuk kali ini
saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa dijamin jujur
dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau
membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif.
Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukan hal remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya
dijadikan parameter kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus
pertimbangan layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika
derajat UNAS diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung
tinggi pula. Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata,
dan tingkat kesulitan luput disosialisasikan ke siswa. Kejujuran itu awalnya
sakit, tapi buahnya manis. Dan saya tahu itu, Pak. Tapi bukankah Pengadilan
Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang? Bukankah
satuan kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu
kebenaran pasti akan menang? Dan bukankah itu tugas Bapak dan instansi-instansi
pendidikan, untuk menunjukkan pada kami, para generasi muda, bahwa kejujuran
itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil untuk dilakukan? Kejujuran itu
awalnya sakit, buahnya manis. Tapi itu bukan alasan bagi Bapak untuk menutup
mata terhadap kecurangan yang terjadi di wilayah kewenangan Bapak. Kami yang
berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi
barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri
yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman
pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di
negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan
pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam
saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah,
Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa
lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru
diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit, Pelajar yang baru saja mengikuti
UNAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar